Nenek 70 Tahun Lulus SD Bersama Cucu

Namanya Bu Sumarni, usia 54 tahun. Setiap hari ia berjalan sejauh 4 kilometer sambil memikul dua keranjang lontong sayur dagangannya. Pagi-pagi sekali, saat matahari belum terbit, langkahnya sudah menyusuri gang sempit di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Tidak ada yang istimewa dari lontongnya. Tidak ada spanduk besar, tidak viral di media sosial. mg4d Tapi kisah hidupnya, menyentuh siapa pun yang mendengar.

Di balik wanita yang tampak lemah itu, tersembunyi kekuatan luar biasa: seorang ibu tunggal yang menyekolahkan tiga anaknya hingga jadi sarjana semua, hanya dengan berjualan lontong.

Mengharukan: Ditinggal Suami, Tak Pernah Menyerah

Tahun 2003, suaminya, Pak Darto, meninggal dunia karena kecelakaan kerja saat menjadi tukang bangunan. Saat itu, anak sulung mereka, Dina, baru kelas 3 SD. Bu Sumarni tidak punya tabungan, tidak punya warisan. Hanya ada dua tangan dan semangat untuk bertahan.

Hari-harinya penuh air mata. Malam-malam sunyi ia habiskan untuk berdoa, sambil menambal baju sekolah anak-anak. Ia meminjam modal Rp50 ribu dari tetangga untuk mulai berjualan lontong.

“Waktu itu saya cuma bisa bikin 10 porsi. Kalau nggak habis, besok nggak bisa jualan,” ujarnya dengan suara lirih.

Namun, tak sekalipun ia berpikir untuk menyerah. “Saya harus jadi ibu dan ayah sekaligus. Kalau saya lemah, anak-anak saya tumbang.”

Menggugah: Anak-anak yang Tak Pernah Lupa Peluh Ibu

Ketiga anak Bu Sumarni tumbuh dalam keterbatasan. Mereka tahu, sepatu mereka bekas. Seragam hanya satu pasang. Tapi mereka juga tahu—mereka adalah anak dari ibu yang hebat.

Dina, anak sulung, sering menemani ibunya jualan sebelum berangkat sekolah. Kadang sambil belajar Matematika di emper toko.

“Waktu saya SMP, saya janji ke ibu, saya akan jadi orang sukses biar ibu bisa istirahat,” kata Dina, yang kini sudah jadi guru SD.

Anak kedua, Irfan, sempat ingin berhenti sekolah saat SMA karena merasa kasihan melihat ibunya sakit-sakitan. Tapi Bu Sumarni marah.

“Saya rela nggak makan, asal kamu sekolah. Jangan ulangi hidup saya, Nak.”

Irfan kini jadi perawat di rumah sakit pemerintah.

Dan si bungsu, Arif, yang dulu sering diejek karena hanya membawa nasi garam ke sekolah, kini menjadi lulusan Teknik Sipil dari universitas negeri dengan predikat cum laude.

“Saya selalu ingat, tangan ibu yang kasar itu lebih mulia dari tangan siapa pun,” kata Arif, dalam pidato wisuda yang membuat satu aula menangis haru.

Menghebohkan: Viral Karena Sepotong Surat

Tahun 2023, saat Arif diwisuda, ia memposting foto ibunya sedang duduk di lantai ruangan, dengan kaki lelah dan sepatu bolong, sambil memegang selembar surat.

Surat itu adalah undangan wisuda dari kampus.

Caption Arif menulis:

“Bu, ini bukan sekadar undangan. Ini bukti bahwa lontongmu telah mengantarkan anakmu ke titik ini.”

Postingan itu viral di media sosial. Dalam semalam, ratusan ribu orang membagikan kisahnya. Banyak yang menangis, banyak yang terinspirasi.

Beberapa media nasional mewawancarai Bu Sumarni. Tapi ia tetap sederhana. Menolak semua hadiah mewah.

“Saya nggak butuh viral. Saya cuma ingin anak-anak saya hidup lebih baik dari saya.”

Pemerintah daerah akhirnya memberikan bantuan modal dan tempat jualan resmi. Kini, Bu Sumarni tidak lagi memikul keranjang. Ia punya gerobak dan bahkan bisa menggaji dua karyawan.

Namun, ia tetap turun tangan sendiri, setiap pagi.

“Saya bukan mau kaya. Saya cuma ingin hidup tenang, dan bantu orang lain yang dulu seperti saya.”

Menginspirasi: Dari Lontong Jadi Gerakan Sosial

Setelah viral, banyak anak muda yang menghubungi Arif dan Irfan untuk mengucapkan terima kasih. Beberapa bahkan terinspirasi untuk melanjutkan sekolah karena kisah Bu Sumarni.

Karena itu, ketiga bersaudara ini membentuk Komunitas Lontong Ibu, yang bergerak membantu anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan perlengkapan sekolah dan bimbingan belajar gratis.

Mereka memulai dari 5 anak di Tambora. Kini sudah lebih dari 200 anak dari 4 kelurahan mendapat dampingan rutin.

“Kami tahu rasanya ingin sekolah tapi tak punya apa-apa. Jadi kami ingin jadi jembatan,” ujar Dina.

Komunitas itu juga mengajarkan orang tua untuk membuka usaha kecil, dengan pelatihan keuangan sederhana dan semangat pantang menyerah ala Bu Sumarni.

“Ibu kami tak sekolah tinggi, tapi filosofi hidupnya kami jadikan dasar organisasi,” ujar Irfan.

Penutup: Lontong yang Tak Hanya Mengenyangkan

Kisah Bu Sumarni bukan sekadar tentang lontong. Tapi tentang keteguhan, cinta ibu, dan keajaiban dari tekad yang tak pernah padam.

Ia membuktikan bahwa pendidikan bisa lahir dari piring sederhana, dan bahwa cinta ibu bisa mengalahkan kemiskinan paling keras sekalipun.

Kini, setiap pagi saat matahari terbit, gerobak Bu Sumarni selalu ramai. Tapi yang paling hangat bukan kuah sayurnya, melainkan semangat hidup yang ia tanamkan di setiap pelanggan yang datang.

Dan ketika ditanya apa cita-citanya sekarang, ia menjawab sambil tersenyum,

“Cita-cita saya? Bukan buat rumah besar. Cukup lihat anak-anak saya hidup jujur, dan bantu orang lain. Itu cukup.”