Anak Sopir Angkot Diterima di Universitas Ternama Dunia

Setiap pagi, saat matahari masih sembunyi di balik kabut tipis, seorang perempuan berseragam batik berdiri di dermaga kayu tua, menenteng tas dan papan tulis kecil. Ia bukan hendak berjualan, bukan pula ingin berlibur. Ia menunggu perahu untuk pergi mengajar—ke sebuah pulau kecil yang tak memiliki guru tetap selama lebih dari lima tahun.

Namanya Bu Rina Handayani, seorang guru honorer yang mengajar di SD Negeri Pulau Pelita, sebuah sekolah kecil di Kepulauan Seribu. mg4d Kisahnya bukan hanya tentang mendidik, tapi tentang pengorbanan, cinta, dan keyakinan bahwa setiap anak, di mana pun berada, berhak mendapatkan pendidikan.

Berawal dari Penempatan yang Tak Diinginkan

Lima tahun lalu, Bu Rina menerima surat penempatan dari Dinas Pendidikan. Ia ditempatkan di sebuah sekolah terpencil di pulau yang bahkan tak ada di Google Maps. Awalnya ia menangis. Ia berasal dari Tangerang, dan membayangkan harus berangkat naik kapal tiap hari membuatnya gentar.

Namun setelah berdiskusi dengan suami dan merenung semalaman, ia memutuskan berangkat. “Kalau bukan saya, siapa lagi yang mau ke sana?” katanya saat berpamitan kepada keluarga.

Ia pun memulai petualangannya: naik angkot, lalu ojek, lalu kapal motor selama satu jam, menantang ombak dan cuaca tak menentu—semua itu ia lakukan hampir setiap hari demi bisa mengajar.

Sekolah Rusak, Murid Putus Asa

Saat pertama kali tiba di SDN Pulau Pelita, hatinya nyaris hancur. Gedung sekolah hanya terdiri dari dua ruang semi permanen. Atapnya bocor, lantainya retak, dan papan tulis sudah mengelupas. Tak ada perpustakaan, tak ada laboratorium, bahkan tidak ada WC.

Jumlah murid hanya 18 orang. Sebagian sudah jarang masuk karena merasa sekolah tidak memberikan masa depan. Orang tua lebih senang mereka membantu di tambak atau ikut melaut.

Bu Rina tidak menyerah. Ia menyapa satu per satu muridnya, mengajak mereka menggambar, menyanyi, bahkan bermain drama. Ia mengubah ruang kelas seadanya menjadi ruang penuh harapan.

Mengajar dengan Hati, Bukan Hanya Buku

Karena buku pelajaran sangat terbatas, Bu Rina membuat sendiri materi ajar dari bahan bekas. Ia menulis soal di kertas koran, membuat flashcard dari kardus, dan mengajarkan matematika pakai kerang-kerang laut.

Ia juga mengajak anak-anak menanam pohon, membuat pojok baca dari sumbangan, dan bahkan mengajar keterampilan dasar seperti membuat sabun dari kelapa.

Namun yang paling penting, ia mengajar dengan hati. Ia tahu, lebih dari sekadar pelajaran, anak-anak di sana butuh semangat. Mereka butuh figur yang percaya bahwa mereka mampu.

Setiap murid ia panggil dengan nama dan diberi pelukan saat datang. Ia tak pernah memarahi, hanya memberi contoh. Dalam waktu tiga bulan, jumlah murid yang hadir meningkat drastis.

Tantangan Tak Pernah Henti

Namun tantangan tidak berhenti di situ. Bu Rina harus menghadapi cuaca ekstrem, kadang hujan badai, kadang panas menyengat. Ia pernah hampir tenggelam saat perahu yang ditumpanginya bocor. Pernah juga terjebak di pulau karena angin kencang sehingga kapal tak bisa berlayar tiga hari.

Belum lagi tekanan ekonomi. Sebagai guru honorer, gajinya tak lebih dari Rp800.000 per bulan. Ia harus menyisihkan sebagian untuk biaya transportasi dan membeli perlengkapan sekolah. Untuk menambah penghasilan, ia menjual keripik hasil buatan murid-muridnya ke kota.

Suaminya sempat meminta agar ia berhenti dan mencari pekerjaan di daratan. Tapi Bu Rina hanya menjawab pelan, “Kalau aku pergi, siapa yang akan jaga mimpi anak-anak di sana?”

Menghebohkan Media Sosial dengan Keteladanan

Suatu hari, salah satu orang tua murid memotret Bu Rina saat mengajar di bawah pohon kelapa, karena ruang kelas penuh air akibat hujan semalam. Foto itu diunggah ke media sosial dan viral dalam semalam.

Ribuan orang membagikan, memberi komentar penuh haru, dan menawarkan bantuan. Media nasional datang meliput, dan stasiun TV mengundangnya ke acara talk show.

Bu Rina tetap rendah hati. Ia hanya berkata, “Saya bukan pahlawan. Saya hanya seorang guru yang kebetulan berada di tempat yang belum banyak disentuh.”

Dari viralnya kisah itu, bantuan pun datang: donasi buku, alat tulis, bahkan pembangunan ruang kelas baru dari CSR sebuah perusahaan. Kini sekolah itu punya fasilitas yang lebih layak—semuanya berawal dari satu foto ketulusan.

Murid-Muridnya Kini Punya Mimpi Besar

Setelah lima tahun mengajar, perubahan signifikan pun terjadi. Dulu anak-anak takut ditanya cita-cita. Kini mereka lantang menyebut ingin jadi dokter, guru, bahkan astronot. Mereka ikut lomba-lomba tingkat kabupaten dan pernah menang lomba pidato bahasa Indonesia.

Bu Rina selalu berkata kepada mereka, “Kalian tidak kalah dari anak kota. Yang penting mau belajar, mau berjuang.” Kata-kata itu mereka pegang erat.

Salah satu muridnya, Rani, bahkan diterima di SMP favorit di Jakarta setelah ikut program beasiswa. Saat perpisahan, Rani memeluk Bu Rina sambil menangis, “Kalau tidak ada Ibu, saya mungkin sudah berhenti sekolah.”

Menjadi Simbol Keteguhan dan Cinta Pendidikan

Bu Rina kini dikenal sebagai “Ibu Guru di Atas Perahu.” Banyak organisasi pendidikan mengundangnya sebagai pembicara. Ia menjadi simbol kegigihan dan cinta yang tulus untuk pendidikan.

Namun ia tetap memilih tinggal di pulau, melanjutkan pengabdian. Ketika ditanya mengapa tak pindah ke kota dan mengajar di sekolah besar, jawabannya selalu sama, “Saya tidak butuh sekolah besar, saya hanya butuh hati yang besar.”

Dia percaya bahwa perubahan dimulai dari satu titik kecil, dari satu guru, dari satu pulau. Dan selama ia masih bisa berdiri, ia akan terus mengayuh perahu kecilnya menuju masa depan anak-anak yang ia cintai.

Penutup: Api Kecil yang Menyala di Tengah Laut

Kisah Bu Rina mengingatkan kita bahwa pahlawan tak selalu mengenakan jubah. Kadang mereka hadir dalam wujud sederhana: seorang guru, sebatang papan tulis, dan lautan luas yang tak pernah menghentikan langkah.

Ia membuktikan bahwa pendidikan bukan soal fasilitas, tapi soal ketulusan. Bukan tentang jumlah murid, tapi tentang menyentuh hati. Dan di tengah gelombang tantangan, Bu Rina berdiri teguh sebagai lentera kecil yang menerangi masa depan bangsa—dari atas perahu, dari ujung negeri.